Hosni Mubarak akan meninggalkan Mesir

Suasana demo di Tahrir square-rimanews
Diktator Hosni Mubarak akan meninggalkan Mesir menuju Jerman karena alasan kesehatan. Demikian dilaporkan media-media massa Barat.

Koran New York Times melaporkan, "Mubarak akan meninggalkan Sharm El-Sheikh menuju Jerman. Ini adalah langkah keluarnya Mubarak dengan cara terhormat." Laporan itu juga menyebutkan, " Keluarnya Mubarak itu dirancang oleh Kamar Ide AS yang dibentuk untuk mengatasi krisis Mesir."

Pada hari Jumat yang juga hari kesebelas aksi demo anti-Mubarak, jutaan warga kembali menyuarakan yel-yel yang menuntut Mubarak segera mundur dari jabatannya. Bahkan mereka juga meminta Mubarak bukan hanya mundur, tapi juga harus diadili. 

Hari Jumat disebut sebagai Hari Lengsernya Mubarak. Para pendemo juga memutuskan batas akhir bagi Mubarak supaya mundur, kemarin. Akan tetapi hingga berita ini dikeluarkan, Mubarak belum mundur.
Kemungkinan bertolaknya Mubarak ke Jerman karena sakit mengingatkan larinya Mohammad Reza Shah yang meninggalkan Iran untuk berobat.

Israel khawatir konflik di Mesir

Selain mendesak mundur Presiden Mesir Hosni Mubarak mundur,Ikhwanul Muslimin juga menyatakan ingin melihat warga Mesir Berperang melawan Israel.

Muhammad Ghannem mengeluarkan pernyataan tersebut kepada media Iran Al-Alam pada hari Senin 1 Februari. Ia juga menilai Terusan Suez untuk ditutup, agar aliran gas dari Mesir menuju Israel dapat ditutup.

"Rakyat Mesir harus siap berperang melawan Israel," ungkap Ghannem seraya menambahkan dunia harus mengerti tentang keadaan rakyat Mesir. Ghannem juga memuji Militer Mesir yang tidak melakukan perlawanan terhadap rakyatnya sendiri.
"Rakyat Mesir lebih dari siap untuk menyingkirkan rezim (Mubarak) ini," lanjut Ghannem. 

Jika Presiden Hosni Mubarak Tumbang, Israel sebagai sekutu dekat mesir akan terancam. Kepala Bidang Politik dan Keamanan Departemen Pertahanan, Amos Gilad memperingatkan berkuasanya Ikhwanul Muslimin di Mesir. 

Seperti dilaporkan al-Quds - mengutip Palestine al-Yaum-, Amos Gilad seraya menyatakan kekhawatirannya tersebut menandaskan, berkuasanya Ikhwanul Muslimin di Mesir merusak perimbangan politik di Timur Tengah dan akan mengakibatkan instabilitas permanen di kawasan. 
Amos menyebut, Ikhwanul Muslimin sebagai kekuatan sejati di kawasan.

Hubungan Mesir, Amerika dan Israel selanjutnya

Mesir telah menjadi bagian terpenting dari strategi Amerika di Timur Tengah. Salah satu kekhawatiran utama jika rezim Presiden Hosni Mubarak tumbang adalah, pemerintah baru mungkin kurang bersahabat dengan Washington dan bisa jadi akan membatalkan perjanjian damai dengan Israel yang telah berlangsung selama 32 tahun.

Mesir adalah negara pertama yang membuat perjanjian damai bersejarah dengan Israel tahun 1979, tetapi dikenal di Timur Tengah sebagai "perdamaian dingin." Kedua pemerintah bekerjasama dalam bidang keamanan dan ekonomi, tetapi ada sedikit kehangatan di antara rakyat.

Di Mesir, menganggap Presiden Hosni Mubarak sebagai orang Yahudi adalah salah satu penghinaan terburuk yang bisa dibayangkan. Dalam beberapa hari terakhir, pemimpin Mesir itu muncul pada beberapa poster demonstran anti-pemerintah dengan Bintang Daud dicat di dahinya.

Tetapi sebagian besar para demonstran muda anti-Mubarak, seperti Essam Nermine 20 tahun, berfokus pada hal-hal lain.
"Kami tidak punya masalah dengan Amerika. Dengan Israel, saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Tetapi jika [Mubarak] tidak punya masalah dengan orang asing, dia punya masalah besar dengan orang Mesir. Ini lebih dari cukup!", demikian kata Essam.

Pihak oposisi politik juga lebih melihat ke dalam. George Ishaq dari partai Kefaya mengatakan masih terlalu dini untuk membuat asumsi mengenai kebijakan pasca-Mubarak.
Ishaq mengingatkan, "Jangan membuat visi terlebih dahulu, karena hidup kami sangat terganggu."
Tapi jelas ada sentimen anti-Israel dan anti-Amerika di pihak oposisi. Persaudaraan muslim (Ikhwanul Muslimin) sering menuduh Presiden Mubarak memihak kepentingan Israel dan Amerika daripada rakyat Mesir.

Dan bahkan oposisi dari golongan moderat, seperti halnya Ishaq, ragu ketika ditanya tentang masa depan perjanjian damai dengan Israel.
Menurut Ishaq, "Tidak ada perjanjian yang bisa bertahan selama 30 tahun tanpa sesuatu perubahan."

Dan perubahan adalah yang ingin dicegah demonstran pendukung  Mubarak. Salah seorang pendukung Mubarak mengatakan bahwa rezim Mubarak telah menjadi benteng dalam menentang radikalisasi di Mesir.  Ia mengatakan, "Kita (bisa) melihat apa yang terjadi di Irak dan negara-negara lain. Kami ingin alasan untuk menang.”

Pihak oposisi terdiri dari pengawal tua dan generasi muda. Dan keduanya tampaknya setuju bahwa tidak akan ada perubahan kebijakan luar negeri di Mesir pasca-Mubarak – paling tidak sebelum mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Source: rimanews

No comments:

Post a Comment

Terimakasih jika Anda berkenan memberi Komentar dengan bahasa yang Santun